Dua Tewas dalam Demo Tolak Provinsi Baru di Papua
By Admin
nusakini.com - Papua - Dua orang tewas dan enam lainnya luka di Kabupaten Yahukimo, Papua, Selasa (15/3). setelah pasukan keamanan melakukan tembakan untuk menghalau pengunjuk rasa yang menolak rencana pemerintah untuk membuat sejumlah provinsi baru di Tanah Papua, kata polisi dan peserta aksi.
Ribuan warga melakukan protes sejak Jumat lalu di Jakarta dan di beberapa wilayah Papua, mengecam rencana pemekaran wilayah paling timur Indonesia itu menjadi enam provinsi, dimana para pengkritisi mengatakan itu hanya stategi Jakarta untuk menghalangi gerakan kemerdekaan Papua.
Polisi terpaksa melakukan tembakan karena pengunjuk rasa menyerang petugas dan membakar serta merusak ruko di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo, kata Kapolda Papua, Irjen. Mathius Fakhiri.
“Saat selesai melaksanakan orasi terjadi gesekan dari masyarakat sendiri, ditambah ada yang provokasi sehingga masyarakat lain melakukan aksi-aksi terhadap bangunan ruko yang ada di sekitar kantor Kominfo," ujar Fakhiri.
Juru bicara Polda Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal mengatakan dua orang korban tewas diidentifikasi sebagai Yakob Meklok, 30, dan Esron Wipea, 22.
"Untuk anggota yang menjadi korban saat ini sebanyak satu orang atas nama Briptu Muhammad Andi yang terkena luka sobek pada bagian kepala dan saat ini telah ditangani oleh tim medis,” ujarnya.
Dalam satu pekan terakhir, aksi penolakan pemekaran provinsi, atau disebut juga Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua terus terjadi, termasuk di Jayapura, Wamena, Paniai dan Jakarta.
Pemekaran Papua istilah untuk pemecahan Papua menjadi beberapa provinsi baru dimandatkan dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 (Undang-Undang Otonomi Khusus) tentang pemekaran atau pembentukan DOB di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Pengunjuk rasa di Dekai, yang diperkirakan ribuan orang, menolak Papua dibagi menjadi beberapa provinsi, terutama provinsi baru yang direncanakan bernama Papua Pegunungan Tengah.
Seorang pendemo yang bernama David membantah keterangan Fakhiri. David mengatakan bentrokan sebenarnya tidak perlu terjadi jika polisi tidak memaksa masuk kedalam kerumunan demonstrasi untuk memotret.
“Ada polisi yang melewati tali komando massa untuk memotret massa,” ujarnya.
“Massa aksi tidak terima lalu adu argumen dengan polisi. Saat sedang adu argumen itu, tiba-tiba ada massa aksi yang melempari polisi dengan batu. Polisi merespon lemparan batu itu dengan tembakan, termasuk tembakan gas air mata. Lalu terjadilah kekacauan dan bentrokan,” ungkap David.
Tembakan polisi itu membuat massa berlarian meninggalkan lokasi demo di sekitar ruko bernama Cenderawasih. Saat itu kata David, sudah ada yang terkena tembakan. Namun karena panik, pendemo yang lain tidak bisa menolong.
“Satu orang yang meninggal itu ditemukan di sekitar ruko,” ujar David.
Massa yang marah lalu membakar beberapa bangunan di sekitar lokasi demo, termasuk Kantor Dinas Infokom Yahukimo.
David mengatakan beberapa orang masih dirawat di Rumah Sakit Dekai karena mengalami luka tembak, namun jumlah dan identitas mereka belum diketahui secara jelas.
Sumber BenarNews di lokasi menyebutkan beberapa nama korban luka tembak yakni Lukas Busup (50), Edi Keroman (18), Luky Kobak (21), Antos Itlay (23) Setti Kobak (22), dan seseorang yang belum diketahui namanya.
Bupati Yahukimo Didimus Yahuli menyesalkan adanya pengunjuk rasa yang meninggal dunia dan meminta koordinator lapangan aksi demo bertanggungjawab.
“Pemerintah Kabupaten Yahukimo sudah menyatakan bahwa tidak boleh ada demo-demo,” ujarnya.
Kontroversi pemekaran Papua
Aksi serupa yang dilakukan di Jakarta pada Jumat lalu juga berunjung bentrokan antara aparat dan pengunjuk rasa, mengakibatkan beberapa pendemo dan seorang polisi terluka.
Pengamat sosial politik Papua, Theo Sitokdana, mengatakan pembentukan wilayah administrasi baru di Papua memang sudah didorong secara bertahap sesuai amanat Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang baru yang disahkan tahun lalu.
“Sebenarnya yang harus didorong untuk pemekaran, bukan provinsi tapi pemekaran kampung, distrik dan kemudian kabupaten,” ujar Sitokdana.
“Karena konsentrasi OAP [orang asli Papua] ada di sana. Pelayanan sosial dasar langsung bisa dinikmati OAP di sana. Peluang mendongkrak SDM [sumber daya manusia] juga besar. Tapi kalau mekarkan provinsi, dampak negatifnya lebih banyak dari dampak positif,” jelas Sitokdana.
Belum ada satupun daerah yang digadang-gadang akan jadi provinsi baru yang memenuhi syarat, sedangkan kajian akademis dari Universitas Cenderawasih maupun Universitas Negeri Papua belum memberikan rekomendasi untuk pembentukan provinsi baru, ujarnya.
Agus Sumule, dosen Universitas Negeri Papua, membenarkan belum adanya kajian ilmiah yang merekomendasikan pemekaran Provinsi Papua. Ia bahkan berpendapat, rencana pemekaran ini akan menjadi pintu masuk migrasi besar-besaran ke Papua.
Selain itu, pemekaran tanpa kajian yang komperehensif akan menciptakan kesenjangan sumber daya yang besar antar masing-masing provinsi.
“Contohnya, Freeport. Saat belum ada Provinsi Papua Barat, wilayah-wilayah yang sekarang menjadi kabupaten di Papua Barat masih mendapatkan bagi hasil SDA [sumber daya alam] Freeport. Sekarang, tidak lagi,” jelas Sumule kepada BenarNews.
Bupati Lanny Jaya yang baru saja bertemu Badan Legislatif DPR di Jakarta untuk menanyakan perkembangan Rancangan Undang-undang pemekaran provinsi, berpandangan pemekaran harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas.
“Pemerintah Pusat memberikan pemekaran untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua,” kata Jigibalom yang juga didapuk sebagai Ketua Asosiasi Bupati se-Pegunungan Tengah.
“Punya kepentingan”
Pakar Resolusi Konflik dari Jaringan Damai Papua, Adriana Elizabeth, mengatakan tidak hanya pemerintah di Jakarta, elit di Papua juga menginginkan pemekaran karena mereka punya kepentingan untuk berkuasa.
"Sesuatu yang belum disepakati pasti bisa menimbulkan konflik. Masalah ini tergantung urgensi menurut siapa," katanya kepada BenarNews.
"Ada deal ekonomi dan politik, kalau ada pemimpin baru pasti kan ada jatah politik, sedangkan kalau ekonomi daerah Papua Tengah kan kaya termasuk ada Freeport di Mimika. Investor izinnya pasti dari Pemda," ujarnya.
Menurut Adriana, motif pemerintah pusat melakukan pemekaran adalah untuk kepentingan keamanan strategis yang berbatasan dengan Papua Nugini (PNG) atau dari sisi pertahanan logis.
"Ketika pecah konflik dan perpecahan terjadi, maka ketika yang satu merdeka, Indonesia masih punya provinsi Papua lainnya," kata dia.
"Apakah bisa mengatasi konflik atau justru memperparah konflik dan apakah pemekaran itu akan memberikan dampak?" katanya.
Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam laporannya yang dirilis tahun 2013 menyebutkan bahwa pemekaran pada tingkat kabupaten pada tahun 2000-an tidak berhasil membuat hubungan Papua dengan pemerintah pusat menjadi lebih baik.
“Jika kebijakan memecah belah dan memerintah di awal 2000-an didasarkan pada premis bahwa unit yang lebih kecil akan membantu mengalahkan separatisme, sulit untuk melihat korelasi yang jelas antara jumlah unit administrasi dan dukungan atau kurangnya dukungan terhadap kemerdekaan,” kata IPAC. (benarnews.org)
Tria Dianti di Jakarta berkontribusi pada artikel ini.